Perkembangan Perekonomian di Korea Utara


Korea Selatan tidak dapat dipisahkan dengan masa-masa Perang Dingin dan kekuatan dua hegemon dunia pada saat itu, Uni Soviet dan Amerika Serikat. Paska-Perang Dunia II, Korea dibagi dua menjadi Korea Utara dan Korea Selatan. Korea Utara dikuasai oleh Uni Soviet dan Korea Selatan dikuasai oleh Amerika Serikat. Pengaruh dari kedua negara hegemon terasa kuat pada kedua tempat ini. Hingga sampai saat ini, ketika Perang Dingin telah berlalu, Korea masih terbagi menjadi dua: Korea Utara dan Korea Selatan, dengan ideologi masing-masing yang didapatkannya selama masa Perang Dingin. Namun hal itu bukan berarti Korea berada dalam keadaan damai ketika terpisah, Korea Utara dan Korea Selatan masih berada di dalam konflik berkepanjangan. Hubungan keduanya juga tidak dapat dikatakan baik. Setiap saat, perang masih dapat terjadi di antara kedua negara tersebut.
Pada awal terpisah, Korea Selatan adalah negara baru yang terpuruk akibat krisis paskaperang dengan Korea Utara. Namun, karena hubungannya yang dekat dengan Amerika Serikat, Korea Selatan dapat dengan mudah membangun diri. Hal ini juga dikarenakan oleh status Korea Selatan yang merupakan agen containment policy Amerika Serikat terhadap penyebaran komunisme di Asia Timur. Amerika Serikat dengan senang hati membantu Korea Selatan membangun negaranya. Pemerintah Korea Selatan juga melakukan sejumlah reformasi dalam negara, di antaranya adalah memfokuskan perekonomian yang berorientasi kepada ekspor.
Pada masa kepemimpinan presiden Park Chung-Hee, Korea Selatan berada di dalam batasan pembangunan lima tahun. Untuk meningkatkan gairah ekonomi, pemerintah juga membangun infrastruktur industri dan memberikan sejumlah kemudahan kepada kalangan bisnis dan chaebol. Kemudahan ini antara lain adalah pinjaman rendah bunga, bantuan ekspor, dan kemudahan dalam ekspor-impor. Korea Selatan awalnya berfokus kepada industri tekstil dan pertanian, namun berkembang juga kepada industri teknologi dan manufaktur. Kebijakan ini membawa Korea Selatan kepada perkembangan perekonomian yang pesat seperti Jepang dan Cina.
Namun krisis minyak pada tahun 1970 menyulitkan ekonomi Korea Selatan. Korea Selatan sangat bergantung kepada minyak impor untuk menjalankan industrinya. Tidak hanya itu, Korea Selatan juga sempat mengalami inflasi yang sangat tinggi karena pemerintah mencoba untuk menerapkan sistem fordisme, yaitu memberi gaji yang tinggi kepada pegawai untuk meningkatkan daya beli. Namun, Korea Selatan dapat bangkit kembali dari krisis ini.
Tidak hanya dalam hal ekonomi, pemerintah juga menggerakkan rakyat untuk berpartisipasi lebih aktif dalam bidang politik. Minat rakyat kepada politik pun semakin lama semakin tinggi. Tahun 1980, otoritarian di Korea Selatan mulai beralih kepada demokrasi liberal. Hal ini ditandai dengan pemilihan umum Majelis Nasional pada tahun 1985 dan puncaknya adalah pemilihan presiden pada tahun 1993. Perlahan, Korea Selatan meninggalkan Korea Utara dan bergerak semakin dinamis kepada demokratisasi dan ekonomi industri ekspor-impor.
Presiden Syngman Rhee adalah presiden pertama Korea Selatan yang memimpin sejak tahun 1948. Pada masa pemerintahannya, terjadi salah satu dari Perang Korea antara tahun 1950-1953. Lalu Rhee diturunkan dari jabatannya karena masalah korupsi. Setelah itu Korea Selatan dipimpin oleh Presiden Yun Po Sun yang 10 bulan kemudian diturunkan oleh militer. Selanjutnya Korea Selatan dipimpin oleh Presiden Park Chung Hee sejak tahun 1961-1979. Presiden Park adalah presiden militer pertama yang mulai menetapkan sejumlah kebijakan untuk membangun perekonomian Korea Selatan. Presiden Park juga adalah presiden yang membentuk sejumlah chaebol untuk menguasai dan mengatur perekonomian Korea Selatan.
Perubahan Korea Selatan tidak serta-merta berarti Korea Selatan terlepas begitu saja dengan Korea Utara. Upaya unifikasi sering kali terjadi di antara dua pemerintah. Korea Utara dengan ancaman militernya juga selalu menjadi hambatan bagi Korea Selatan untuk mengusahakan unifikasi. Korea Selatan pernah membentuk suatu kebijakan bernama Sunshine Policy yang membahas tentang unifikasi ini. Namun, Korea Utara masih mempertimbangkannya. Tidak jarang pergesekan di antara kedua negara sering kali membawa keduanya kepada keadaan hampir perang dan hal ini menurut Korea Selatan, sangat merugikan perekonomian.
Dengan negara lain, Korea Selatan juga memfokuskan diri kepada hubungan ekonomi. Demi kepentingan ekonomi, Korea Selatan tidak membawa hubungan bilateralnya kepada permasalahan-permasalahan lama, tetapi kepada hubungan ekspor-impor yang lebih menguntungkan. Dengan Cina, Korea Selatan mengembangkan hubungan diplomatik. Untuk hubungan multilateral, Korea Selatan bergabung dalam organisasi internasional, antara lain adalah PBB pada tahun 1991 dan G20. Sama seperti Jepang, Korea Selatan juga tergabung di dalam APEC, ARF, dan ASEAN +3.


Tanggapan :
Masalah perekonomian di suatu negara juga sangat dapat mungkin di pengaruhi oleh adanya peperangan antar negara. Korea Utara salah satunya, karena hasra berperang negara tersebuat membuat perekonomian Korea Utara agak terbengkalan terutama masalah ketertutupan Korea Utara terhadap Expor-Impor atau bantuan dari negara lain. Seharusnya Korea Utara lebih terbuaka agar dapat dengan mudah meng-Expor atau men-Impor barang dari negara lain. Jauh berbeda dengan Korea Selatan yang bisa dikataka sebagai negara maju, Korea Utara masih jauh tertinggal karena  hasil sumber daya yang disimpan untuk saving persiapan untuk berperang.

0 komentar:

Posting Komentar